Minggu, 06 Juli 2008

Kesempatan Kedua

Bayangkan Anda sedang duduk kelaparan di pinggir jalan. Tak ada rumah, pakaian satu-satunya sudah kumal melekat di badan. Perut melilit. Seharian baru saja Anda bekerja jadi pembantu di peternakan babi. Majikannya kejam dan pelit bukan main, bukan hanya upah kecil, ampas makanan babi pun tak boleh Anda makan! Sungguh keterlaluan! Mau menangis rasanya. Baru beberapa minggu yang lalu Anda masih menikmati hidup mewah. Tidur di hotel berbintang, main di kasino kelas atas, dan ditemani ... hmm ... pelacur elit kelas atas.

Kini semuanya hilang.

Terkenanglah Anda akan masa lalu di kampung halaman, jauh di seberang sana. Sebagai putra dari keluarga berada, ayah Anda tak pernah lalai mencukupi kebutuhan Anda. Perusahaan ayah Anda bejibun dan makmur. Bahkan karyawan kantor ayah Anda yang paling rendah pun, keadaannya jauh lebih baik dari Anda sekarang.

Masalahnya Anda telah memilih jalan Anda di masa lalu untuk mengkhianati dan murtad terhadap ayah Anda. Seumur-umur memang Anda tidak pernah punya rasa hormat terhadap ayah Anda. Makanya Anda berani meminta harta warisan kepada ayah Anda. Bagi Anda, hidup mati ayah Anda bukan masalah. Dan Anda telah memilih jalan Anda sendiri, pergi tinggalkan ayah Anda yang sudah tua, pergi jauh ke negeri seberang. Hidup berfoya-foya dengan warisan bagian Anda.

"Masih adakah kesempatan kedua? Mungkinkah aku bisa pulang?" Anda bertanya-tanya dengan gelisah. "Asalkan ayah boleh menerima aku sebagai karyawannya, jadi office boy sekalipun tak apa." Anda berpikir keras. Mencoba menyusun kata-kata yang hendak diucapkan. Sembari di dalam hati ada gaung berbunyi ... "Masih adakah kesempatan kedua bagiku ...?"

* * * *

Tiap-tiap orang mungkin harus berhadapan dengan momen kesempatan kedua ini. Momen dimana dengan gelisah dan bertanya-tanya,"Masih adakah kesempatan kedua bagiku?" Akankah kuambil kesempatan keduaku?" Momen yang unik bagi tiap-tiap orang. Sebuah momen yang pribadi bagi masing-masing individu.

Mungkin momen itu milik seorang narapidana. Baru saja dijatuhi hukuman penjara bertahun-tahun. Dan dibalik jeruji besi --yang seolah bukan hanya membelenggu tubuhnya tapi harapannya -- dia bertanya, "Masih adakah kesempatan kedua bagiku?"

Atau milik seorang pelarian. Mungkin lari karena kasus korupsi atau penipuan atau pembunuhan. Tak jelas masa depan. Tak tenang hati. Hidup diburu-buru. Masih adakah kesempatan kedua?

Atau mungkin milik seorang mantan hamba Tuhan yang sudah lama lama sekali meninggalkan pelayanannya. Mungkin jatuh dalam dosa. Mungkin terjerat sakit hati dan kepahitan. Sesekali angin malam meniup luka lama namun juga membawa pertanyaan, "Masih adakah kesempatan kedua?"

Mungkin milik seorang suami yang berselingkuh. Bertahun-tahun mungkin tidak diketahui. Gelisah dan bimbang. Terus dalam dosa? Atau ......adakah kesempatan kedua?

* * * *


Kisah tentang anak yang hilang yang didramakan dari Lukas 15:11-32 ini, berlanjut ketika sang anak bungsu mengambil kesempatan keduanya. Berjalan pulang menuju rumah bapanya. Dari jauh bapanya telah menunggu, bahkan tidak diberinya kesempatan bagi anaknya untuk mencoba mengajukan negoisasi menjadi hambanya. Dirangkulnya, dipakaikan jubah dan dikenakan cincin.

Inilah kasih karunia. Kasih karunia tidak memberi kesempatan bagi kesalehan untuk mencoba menegoisasikan keselamatan. Kasih karunia tidak memberi kesempatan bagi kita untuk mencoba membeli kesempatan kedua. Kasih karunialah yang memberikan kesempatan kedua bagi kita untuk hidup kembali. "Berikan bagiku cintaMu dan karuniaMu. Itu cukup bagiku," bisik doa Ignatius Loyola. Ya, itu cukup bagi kita untuk menerangi segala kegelapan yang tergelap di masa lalu kita.

Saya tidak tahu momen apa yang Anda miliki sekarang. Apakah Anda sedang menghadapi kesempatan kedua?Mungkin Anda berkata, "Sepertinya kesempatan kedua, ketigaku sudah terpakai habis....lalu bagaimana?"

Saat hati kita menangis rindu untuk pulang kepada Bapa, ada kesempatan kedua di situ.

Ada Bapa menanti di sana.

Tidak ada komentar: